WILUJEUNG SUMPING DI BLOG SEDERHANA KAMI KORAN KONGSI [KK] BERITA KHUSUS DESA JAMBAR DAN KONGSI. SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA SEMOGGA AMAL IBADAH PUASANYA DI TERIMA ALLOH SWT AMIEN. TONG HILAP LINGGIH DEUI KA WEBSIT KORAN KONGSI HATUR NUHUN

ShoutMix chat widget

OBYEK WISATA WADUK DARMA

BAGI orang yang akan bepergian menggunakan jalur Ciamis-Cirebon atau sebaliknya, sudah bisa dipastikan akan melewati suatu tempat yang menjadi primadona Kabupaten Kuningan di sektor pariwisata. Ya, Wadukdarma. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayan (Disparbud) Kabupaten Kuningan dalam “Kuningan The Wonderful Nature and Culture”, lokasi Wadukdarma berjarak + 47 km dari Kota Cirebon dan + 12 km ke arah barat daya dari Kota Kuningan. Lokasi tersebut termasuk berada di bawah kaki Gunung Ciremai, sekitar + 715 m di atas permukaan laut (dpl). Berhawa sejuk dan segar dengan kisaran temperatur 18-30 derajat celcius.
Di antara sekian banyak lokasi obyek wisata di Kabupaten Kuningan, Wadukdarma menduduki urutan pertama sebagai kawasan objek wisata air terluas. Klarifikasi tersebut diperkuat oleh pendapat, Uba, warga Kampung Cikalong, RT. 02/01 Desa Jagara Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan yang juga salah seorang pegawai (juru ukur) bawahan mantri ukur yang dipimpin oleh Muchlas sekitar tahun 1962-1964.
Menurut Uba, ketika ditemui Fokus di tempat kerjanya, “luas areal Wadukdarma mencapai kurang-lebih 472 ha. Luas tersebut meliputi delapan desa, yakni Desa Sakerta Timur, Sakerta Barat, Paninggaran, Cipasung, Kawahmanuk, Cikupa, Darma, dan Desa Jagara. Tetapi saat ini, mungkin karena adanya proses erosi dalam kurun waktu yang cukup lama, luas areal genangan air Wadukdarma hanya tinggal kurang-lebih 425 ha.
Uba menjelaskan, “di antara delapan desa, Desa Jagara-lah yang terluas sebagai daerah genangan air Wadukdarma. Kendati demikian, luasnya areal salah satu desa yang menjadi lokasi genangan air waduk, tidak menjamin nama desa tersebut dijadikan nama sebuah waduk. Seperti nama Wadukdarma ini, kalau penamaan waduk ditinjau dari segi luas areal genangan air, antara Desa Jagara dan Desa Darma, justru Desa Jagara-lah prioritas utama sebagai nama waduk.”
Menurut Uba, mungkin pemerintah punya pertimbangan dan pandangan lain yang sangat mendasar menyangkut penamaan waduk itu yang tidak menggunakan nama Jagara. “Demi kemajuan di masa mendatang,” jelas Uba dengan lirih. Alasan nyata yang sangat bisa dimaklumi adalah adanya sumber air dengan debit air dominan serta mengalir secara kontinyu ke waduk berasal dari mata air “Balong Darma” yang sekarang lokasi tersebut berubah nama menjadi “Balong Keramat Darmaloka” berlokasi di Desa Darma. “Maka wajar apabila nama waduk adalah Waduk Darma,” papar Uba sambil tertawa datar.
Seorang tokoh masyarakat yang terlahir sekitar 87 tahun silam dan juga merupakan saksi sejarah terwujudnya Wadukdarma, Abah Sukaedi, saat Fokus sengaja bersilaturahmi ke rumahnya di Kampung Cikalong Desa Jagara, mengatakan, sejarah yang erat kaitannya dengan Wadukdarma dimulai saat Belanda menancapkan kekuasaannya di Bumi Pertiwi ini.
Menurut Abah Sukaedi, sekitar tahun 1932 bangsa Belanda mulai menyusun rencana. Menginjak tahun 1938, pembebasan tanah-tanah rakyat terus dilaksanakan. Namun berhubung tentara Jepang datang, pelaksanaan pembebasan tanah tersebut sempat tertunda. Hal ini bukan berarti tidak jadi. Buktinya, di tahun 1954 Soekarno turun tangan meneruskan rencana pembuatan waduk terebut.

Sejak tahun 1954 itulah, sebagi pegawai, Abah larut dalam kesibukan. Mulai dari pengukuran tanah, mengatur anak buah (pekerja) hingga menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan guna membuat bendungan. “Itu semua Abah laksanakan,” akunya bangga.
Pengerjaan bendungan semasa Pemerintahan Soekarno berlangsung selama kurang-lebih tujuh tahun. Tepatnya tahun 1961, bendungan Wadukdarma diresmikan. Adapun tempat pelaksanaan “gunting pita” peresmiannya adalah di Cirebon, di Cangkol di mana kantor PU pengairan berada.
Masih menurut cerita Abah Sukaedi, seiring dengan tenggelamnya ratusan hektar tanah, ladang sumber mata pencaharian, kesedihan pun muncul mewarnai wajah para penduduk delapan desa yang telah mendarah-daging biasa menggarap tanah untuk menghidupi keluarganya. “Sejak tanah-tanah lahan garapan mulai dibebaskan, sejak itu pula masyarakat dari delapan desa sudah dibikin kelabakan. Bayangkan saja, orang yang sudah bertahun-tahun secara turun-temurun terlena dan menikmati hasil-hasil pertanian dari tanah garapannya, tiba-tiba harus menghentikan kegiatannya tanpa menguasai suatu keahlian lain untuk bekal mencari nafkah, coba pikir. Pokonya, gelap-lah rasanya dunia ini,” tegas Abah Sukaedi.
Tidak berbeda dengan Abah Sukaedi, para penduduk dari desa yang lain pun merasakan hal serupa. Masa transisi ini terlalu berat sehingga membuat mereka tertekan. Apalagi ketika muncul instruksi harus bertransmigrasi, masyarakat semakin stres. Dengan berbagai macam cara (tanpa kekerasan), masyarakat bersama para kiyai menyusun strategi untuk mengantisipasi terjadinya transmigrasi. “Alhamdulillah,” puji Sukaedi, “upaya itu berhasil,” lanjutnya, gembira.
Pemerintah mengabulkan permohonan rakyatnya, yakni mengurungkan pelaksanaan transmigrasi bagi rakyat Jagara dan ketujuh desa lainnya. Masyarakat diberi kesempatan untuk menempati daratan, daerah pasisian di sekeliling Wadukdarma dengan catatan “ikut menjaga” kelestarian lingkungan demi terciptanya Wadukdarma sebagai sumber air yang sehat dan bersih (bebas pencemaran), berdampak positif sebagai lahan untuk menggali sumber kehidupan baru, khusus bagi masyarakat Kecamatan Darma, umumnya bagi masyarakat Kabupaten Kuningan dan sekitarnya.

Awalnya Kebun Pinus

Wadukdarma makin berkembang. Masyarakat yang hidup di pinggiran Wadukdarma pun mulai bisa beradaptasi serta mulai bisa mengambil manfaat dari keberadaan Wadukdarma.
Dari mulut ke mulut, cerita dan nama Wadukdarma terus menyebar, menimbulkan daya tarik serta menggugah rasa keingin-tahuan si Pendengar. Akhirnya, pada hari-hari tertentu banyak orang berdatangan walau sekedar untuk membuktikan kebenaran berita yang didengarnya. “Saat itu, daratan di sekitar Wadukdarma masih berupa kebun pinus dan arealnya pun masih belum tertata,” jelas Abah Sukaedi, “akan tetapi, sekalipun keadaannya demikian, semakin hari jumlah para pengunjung semakin bertambah,” lanjutnya.
Melihat celah adanya peluang-emas yang bisa dimanfaatkan dari para pengunjung, para pemuda setempat berinisiatif mengadakan pungutan secara alakadarnya (sukarela) bagi orang-orang yang ingin masuk menikmati indahnya alam sekitar Kawasan Wadukdarma. Rutinitas kegiatan para Pemuda tersebut rupanya menarik perhatian aparat pemrrintahan Desa Jagara. Maka, atas izin pihak kabupaten, Pemerintahan Desa Jagara saat itu sudah mempunyai sumber pendapatan Desa yang bisa dibilang cukup lumayan.
Kecuali pihak Desa, penduduk di lingkungan itupun, dengan cara usaha membuka warung-warung musiman, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan serta mulai dapat merasakan adanya suatu jalan kehidupan baru yang menjanjikan.
Namun setelah sekian lama berjalan, pengelolaan tempat rekreasi oleh pemerintahan Desa dikembang, Pemerintah Kabupaten, khususnya Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) saat itu, bekerja-sama dengan pihak PU Pengairan Wadukdarma, mengambil alih dan mengembangkan tempat rekreasi tersebut.

By ALIF BATASA with No comments

0 komentar: